LAPORAN BACAAN
Judul Buku : KIAI SADRACH SUROPRANOTO
Pasamuan
Kristen Jawi Mardiko
Penulis :
Lydia A. Indriswari Herwanto
Penerbit :
Seminari Bethel Jakarta
Diserahkan Kepada : -
Sebagai Tugas
Dari : -
I.
PENDAHULUAN
Buku yang dilaporkan adalah buku
yang berjudul KIAI SADRACH SUROPRANOTO Pasamuan Kristen Jawi Mardiko ditulis
oleh Lydia A. Indriswari Herwanto. Buku ini diterbitkan pada Mei 2002 sebagai
cetakan pertama, dan di cetak kembali yang kedua pada April 2011 oleh penerbit
Seminari Bethel Jakarta dengan tebal 174 halaman. Buku ini menjelaskan tentang
Kiai Sadrach Suropranoto dan umatnya yang berpusat di daerah Jawa Tengah bagian
selatan serta mengungkapkan sekilas tentang umat Kristen. Buku ini dibagi dalam
empat bab dan bagian penutup merupakan ulasan dari bab-bab yang mendahuluinya.
II.
LAPORAN
BAGIAN BUKU
BAB.I Pekabaran Injil di Jawa Tengah Selatan
Pertengahan Abad 19
Pada
Bab I ini menjelaskan bahwa Gereja Protestan sudah mulai di kenal di Indonesia
sejak zaman Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), dan para pegawai VOC
adalah anggota gereja Protestan di Belanda, namun pada zaman VOC (tahun
1601-1799), gereja tidak dapat melakukan usaha penyebaran agama Kristen secara
efektif. Pada tahun 1799 VOC dibubarkan, maka Belandalah yang menguasai
Indonesia secara langsung, tetapi pada waktu itu masalah penyebaran agama
Kristen kepada penduduk tidak pernah diutamakan, adapun Gereja Negara berada
langsung dibawah pengawasan pemerintah Hindia Belanda bahkan para pendetanya
diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal.
Kira-kira
pada pertengahan bulan Juli tahun 1850 pemerintah Hindia Belanda mulai mengubah
kebijakan dengan mengizinkan digiatkannya usaha penyebaran agama Kristen di
pulau Jawa, tetapi terbatas di daerah-daerah yang penduduknya diduga belum
memeluk agama Islam. Walaupun sudah ada kelonggaran, tetapi pemerintah Hindia
Belanda tetap mengawasi kegiatan pekabaran injil tersebut. Dalam usaha penyebaran
agama Kristen di pulau Jawa ada dua cara yang dipergunakan yaitu: cara Emde dan
cara Coolen, cara Emde yaitu cara penginjilan yang murni artinya tidak
terpengaruh dengan adat istiada Jawa. Sedangkan cara Coolen yaitu cara
pekabaran injil dengan budaya Jawa. Coolen adalah seorang Indo-Belanda (ayahnya
seorang Belanda dan ibunya seorang bangsawan Jawa).
Gereja
Negara di Purworejo, yaitu sebuah kota di daerah Jawah Tengah bagian selatan,
juga melakukan hal yang sama seperti pusatnya di Batavia, yaitu gereja hanya
melayani orang-orang Belanda saja. Secara berlahan-lahan Jemaat Kristen Jawa di
Purworejo mengalami perkembangan setelah ada kegiatan penyebaran agama yang
dilakukan melalui kerja sama antara pihak Zending dengan Nyonya Philips
Stevens, dimana Nyonya Philips Stevent dikenal sebagai seorang wanita
Indo-Belanda yang sering kali menolong dan memperhatikan orang-orang jawa yang
hidupnya menderita. Nyonya Philips Stevens mempergunakan pendekatan yang mirip
dengan cara Coolen, namun menentang cara Coolen yang tidak melakukan sakramen
Baptis Kudus dan Sakramen Perjamuan Kudus. Dan akhirnya bulan November 1868,
Jemaat Kristen Jawa ini menjadi bagian dari gereja Protestan di Purworejo,
cabang Gereja Negara di Batavia.
BAB. II Peri Kehidupan Kiai Sadrach
Suropranoto.
Pada
bab II, penulis memulai dengan Riwayat hidup Kiai Sadrach Suropranoto agar
pembaca mudah memahami tentang Jemaat Kristen Jawa Merdeka dan ajarannya. Kiai
Sadrach Suropranoto dilahirkan pada tahun 1840 dengan nama kecil Raden, di Desa
Dukuh Seti, dekat Pati, termasuk wilayah Jepara. Nama ayah dan ibunya tidak
diketahui yang jelas Raden berasal dari golongan rakyat jelata yang amat
miskin, sejak remaja dia sudah mengembara ke berbagai daerah pulau Jawa, sampai
seorang guru agama mengangkatnya sebagai anak dan memberikan kepadanya
pengajaran agama Islam secara teratur sampai Radin di kirim ke pesantren di
daerah Jombang Jawa Timur untuk memperdalam ilmunya, dan sisitulah nama Radin
ditambahkan menjadi Radi Abas.
Pada
suatu waktu Raden Abas pergi berlibur ke Mojowarno disana ada terdapat
sekelompok orang Kristen yang dipimpin oleh Paulus Tosari didampingi seorang
penginjil yaitu J.E. Raden Abas sering mendengarkan J.E yang sedang mengajarkan
pengajaran Kristen sampai dia tertarik namun dia tidak langsung memutuskan
untuk beralih agama kepada Kristen. Dia masih tetap melanjutkan menuntut ilmu
di salah satu pesantren Jumbang sampai akhirnya dia merasa sudah cukup banyak
mendapat ilmu dari pesantren dan pindah ke Semarang. Ketika tinggal di Semarang
Radin Abas selalu mengikuti kebaktian hari minggu di rumah W. Hoezoo.
Pada
tahun 1865 Abas diserahkan oleh Kiai Tunggul Wulung kepada Mr. Anthing di
Batavia untuk belajar agama Kristen. Abas dinilai Mr. Anting adalah seorang
yang baik dan cerdas sehingga Abas diangkat menjadi anak angkatnya, dan
kemudian Abas meninggalkannya setelah mendapat banyak ilmu dan dia ingin
menyebarkan injil ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, sampai akhirnya menarik
perhatian Nyonya Philips Steven sehingga Sadrach Radin mendapat kepercayaan
untuk memimpin pekabaran Injil di daerah Kutoarjo dan Cangkrep. Pada tahun 1869
Sadrach Radin dapat mengalahkan Kiai Kasan Mataram dari Srewa dalam suatu
perdebatan sehingga seluruh muridnya menjadi pemeluk agama Kristen. Sadrach
Radin makin banyak dikenal orang apalagi setelah Nyonya Pholips Stevens
meninggal dan Sadrach Radin memegang kekuasaan penuh, jemaat Kristen Jawa di
Purworejo digabungkan dengan jemaat si Karangjoso, akibat kehebatannya dia mendapat
sebutan dengan istilah Kiai karena dia sangat ahli.
Ada
banyak tokoh yang mempengaruhi tindakan Sadrach Radin dalam memimpin jemaatnya
sehingga menyebabkan Kiai Sadrach Suropranoto menggabungkan diri dalam aliran
Kerasulan, dalam aliran Kerasulan ada kepercayaan terhadap karunia roh yang
berguna untuk menyembuhkan penyakit yang diderita seseorang secara mukjizat.
Dan tindakan ini juga bermanfaat untuk kedudukannya sebagai pemimpin utama
Jemaat Kristen Jawa di daerah Bagelen.
BAB. III Perkembangan Agama Kristen
Jawa.
Bab III merupakan corak kepemimpinan dan ajaran Kiai
Sadrack Suropranoto dimana Kepemimpinannya merupakan suatu faktor yang sangat
menentukan bagi kelangsungan hidup Jemaat Kristen Jawa Merdeka. Kiai Sadrack
Suropranoto merupakan seorang pemimpin yang sangat dihormati oleh para
pengikutnya meskipun sebaliknya bagi pihak Zending, karena menurut pihak
Zending kepemimpinan Kiai Sadrack Suropranoto tidak sesuai dengan ajaran agama
Kristen. Tapi berkat pengetahuan Kiai Sadrack Suropranoto yang begitu tinggi
yang mampu selalu memenangkan debat dalam pengetahuan agama dan juga memiliki
banyak karisma sehingga tahun ke tahun jumlah pengikutnya selalu meningkat.
Disamping itu Kiai Sadrack Suropranoto juga tidak terlepas dari hal yang
negatif yaitu dia cenderung memusatkan kekuasaan pada diri sendiri, dan tidak
mempersiapkan seorang calon pengganti diantara para pembantu utamanya. Padahal,
secara garis besar corak kepemimpinan gereja pada umumnya bersifat melayani dan
tidak otoriter kepada jemaat, harus memiliki kasih seperti Yesus Kristus
sehingga seharusnya pendeta dan jemaat memiliki kedudukan yang sama. Ini
membuat berbeda dengan corak kepemimpinan Kiai Sadrack Suropranoto.
Pengajaran Kiai Sadrack Suropranoto
bersifat Sinkretisme yaitu perpaduan unsur-unsur kepercayaan Jawa dan Islam
dengan agama Kristen Protestaan. Faktor Sinkretisme ini terjadi dalam bidang
agama dan juga dalam bidang upacara adat. Keselamatan bukan hanya merupakan
suatu anugerah Tuhan pada umatnya tetapi dibutuhkan kepercayaan dari umutNya
yang artinya memerlukan usaha manusia untuk memperoleh keselamatan. Ajaran Kiai
Sadrack Suropranoto tentang keselamatan juga berbeda dengan agama Kristen pada
umumnya, yaitu bahwa keselamatan di dunia lebih cendrung ditekankan dari pada
keselamatan kekal di surga. Bahkan Kiai Sadrack Suropranoto mengajarkan orang
yang berpikiran jahat tidak berdosa asal hanya sebatas dalam pikiran saja. Hal
ini sangat berbeda pada pandangan agama Kristen dan ini sangat bertentangan
dengan Matius 5:28 dan Mika 2:1. Para pengikut Kiai Sadrack Suropranoto
mengatakan kepada pengikutnya bahwa bangsa Yahudi termasuk Yesus adalah bangsa
Jawa dan para pengikutnya percaya bahwa Alkitab dalam bahasa Jawa merupakan
naska asli dari Firman Allah. Sehingga jelas ajaran agama Kristen yang
diajarkan oleh Kiai Sadrack Suropranoto lebih menunjukkan ciri-ciri
kejawaannya.
Dalam sinkretisme di bidang upacara
adat, Kiai Sadrack Suropranoto tetap mempertahankan kebudayaan Jawa dan
menselaraskan dengan ajaran Kristen seperti sedekah bumi, upacara upacara
penguburan, dan khitanan. Sedangkan adat kebiasaan yang dilarang adalah
wayangan dan tayuban. Pihak Zending yang diwakili Pendeta Lion Cachet sangat
menentang bila masih dilakukan khitan karena itu masih unsur agama Islam dan
bertentangan dengan Galatia 5:2.
Kiai Sadrack Suropranoto, menekankan
supaya suatu gereja selalu mengadakan kebaktian dan kegiatan rohani seperti
mempelajari isi Alkitab dan melatih pujian kepada Tuhan. Dalam tata ibadah
terdiri dari 12 pengakuan iman Rasuli, sepuluh perintah Allah, doa Bapa kami,
doa persembahan, dan doa syukur. Sedangkan dalam kebijakan agama, Kiai Sadrack
Suropranoto sangat disiplin, dia akan memberikan sanksi yang tegas bila jemaat
melakukan pelanggaran. Seseorang dapat dikeluarkan dari keanggotaan jemaat
selama tiga bulan, bila ia tanpa alasan yang tepat tidak menghadiri upacara
sedekah bumi.
BAB. IV Profil dan Tantangan Jemaat
Kristen Jawa Merdeka.
Bab IV ini diawali dengan
menjelaskan bahwa Karangjoso Sebagai Pusat Jemaat yang lahir pada abad XIX,
yang di pimpin oleh Kiai Sadrack Suropranoto. Pendukuhan Karangjoso berjarak
kira-kira 11 kilometer dari Kutoarjo dan terletak di sebelah barat daya
Kutoarjo. Karangjoso merupakan daerah daratan rendah, penduduknya sedikit
sekali. Pada masa Kiai Sadrack Suropranoto, pusat Jemaat Kristen Jawa Merdeka
ini merupakan kompleks tersendiri. Terdiri atas bangunan gereja, dan rumah
tempat kediaman Kiai Sadrack Suropranoto. Bangunan gereja, tempat tinggak Kiai
Sadrack Suropranoto dan juga pemukiman jemaat sangat bercorak budaya Jawa,
sehingga dapat dikatan bahwa Kiai Sadrack Suropranoto dalam menyebarkan agama
Kristen selalu berusaha memadukan ajaran agama Kristen dan kebudayaan Jawa.
Adapun alasan yang mendorong Kiai
Sadrack Suropranoto memilih Pendukuhan Karangjoso sebagai pusat Jemaat Kristen
Jawa Merdeka didasarkan pada kepercayaan dalam masyarakat Jawa yang menganggap wangsit
sebagai suatu petunjuk Tuhan, dan Kiai Sadrack Suropranoto pernah menerima
wangsit ketika masih tinggal di desa Bondo pada tahun 1869 yang mengatakan agar
ia pergi kearah Selatan.
Kegiatan sosial umat Kristen Jawa
adalah menyelenggarakan pelayanan sosial. Mereka mempraktekkan Matius 22:39
yang intinya harus mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Sedangkan
tantangan yang dihadapi adalah masyarakat jawa yang non Kristen, pihak Zending,
dan tantangan dari Hindia Belanda. Pendeta Bieger sebagai seorang Belanda
menginginkan Kiai Sadrack Suropranoto sebagai bawahannya dan mematuhi segala perintahnya.
Ia beranggapan bahwa dialah sebenarnya yang layak menjadi pemimpin utama bagi
umat Kristen Jawa di wilayah Bagelen dan sekitarnya. Agak ia diakui sebagai
pemimpin dia berusaha mencari-cari kesalahan Kiai Sadrack Suropranoto, dan
mengirim 9 tuduhan kepada pengurus pusat NGZV di Rotterdam, Residen Bagelen,
tetapi Pendeta Bieger tidak berhasil karena pemerintah belum mempunyai alasan
yang cukup untuk menangkap dan menghentikan Kiai Sadrack Suropranoto dalam
Jemaat Kristen Jawa Merdeka.
Walaupun pihak Hindia Belanda belum
mengambil tindakan tetapi tetap mengawasi kegiatan Jemaat Kristen Jawa Merdeka
seperti mengirim dua anggota polisi untuk mendengarkan khotbah Kiai Sadrack
Suropranoto secara langsung dan akhirnya pihak pemerintahan Hindia Belanda
mendapat alasan untuk menangkap Kiai Sadrack Suropranoto karena dia menolak
peraturan pemerintah tentang wajib pencacaran ketika musim cacar. Dan membawa
Kiai Sadrack Suropranoto untuk masuk penjara. Pada tanggal 15 Maret 1882,
Residen Ligvoet mengumumkan kepada seluruh anggota Jemaat Kristen Jawa Merdeka bahwa
Kiai Sadrack Suropranoto di pecat dari jabatannya, dan akhirnya keinginan
Pendeta Bieger yang ingin merebut kedudukan Kiai Sadrack Suropranoto berhasil
dia menjadi pemimpin Jemaat Kristen Jawa Merdeka meskipun sebenarnya Jemaat-jemaat
hanya terpaksa menerimanya. Penulis menjelaskan bahwa peristiwa ini hanya
tercatat dalam sumber berbahasa Jawa sedangkan sumber berbahasa Belanda tidak
mencatat.
Pada tanggal 7 Juli 1882, terjadi
perubahan mengejutkan Kiai Sadrack Suropranoto dibebaskan dan diijinkan kembali
memimpin Jemaatnya, hal ini berdasarkan surat perintah dari Gubernur Jenderal
F.A. Yacob dan berakibat pemecatan kepada Residen Ligvoet karena Jenderal F.A.
Yacob menganggap keputusan Residen Ligvoet keliru. Tetapi pada bulan Juli 1890
para penginjil mengirim laporan kepada pengurus pusat NGZV di Rotterdam bahwa
pengajaran Kiai Sadrack Suropranoto tidak benar. Kemudian pengurus pusat NGZV
mengirim seorang pengurusnya, Pendeta F. Lion Cachet dan hasilnya bahwa menurut
dia pengajaran Kiai Sadrack Suropranoto adalah sesat. Tetapi NGZV menganggap
itu kurang objektif dan akibatnya NGZV memerintahkan Pendeta F. Lion Cachet
untuk memutuskan hubungan kerja sama dengan Jemaat Kristen Jawa Merdeka. Kemudian
Kiai Sadrack Suropranoto membawa jemaatnya masuk aliran Kerasulan pada tahun
1899. Dengan demikian Jemaat Kristen Jawa Merdeka benar-benar memperoleh
kemerdekaan secara penuh.
Pada tanggal 15 November 1924 Kiai
Sadrack Suropranoto meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah timur Karangjoso.
Pimpinan Jemaat Kristen Jawa Merdeka digantikan oleh anak angkatnya Jotam
Martorejo, seorang lulusan Keuchenius School, namun memilik corak kepemimpinan
yang berbeda dengan Kiai Sadrack Suropranoto. Jotam Martorejo meminta menjalin
hubungan dengan pihak ZGK sehingga menimbulkan pertentangan dalam jemaatnya.
Namun karena jemaat-jemaat yang mudah yang bersekolah di Keuchenius School
mendukung kebijakan Jotam Martorejo. Dan tahun 1926 di Desa Wedi menyatakan
resmi bergabung dengan ZDK. Akhirnya menimbulkan perpecahan dan akhirnya
berakhirlah kemandirian Jemaat Kristen Jawa Merdeka tersebut.
Komentar
(Pendapat) Saya
Pada cover buku ini, paling atas
ditulis dengan judul buku “KIAI SADRACH SUROPRANOTO” dan kemudian di bawahnya
ditulis “Pasamuan Kristen Jawi Mardiko” dan paling bawah nama penulis. Awalnya
melihat buku ini saya kebingungan karena judulnya kok seperti nama seorang
penulis. Ternyata setelah dibaca Buku ini ditulis oleh seorang staf pengajar di
Seminari Bethel Jakarta dan STT Iman di Jakarta, yang bernama Lydia
Agustinawati Indriswari Herwanto, yang menghadirkan sebuah uraian sejarah yang
kaya dengan nilai “teologis historis” dari kehidupan KIAI SADRACH SUROPRANOTO
dan para pengikutnya, yang berkaitan dengan gereja Tuhan dan orang Kristen pada
umumnya di Indonesia bahkan manca Negara.
Buku ini sangat menambah pemahaman
saya tentang perjumpaan injil dengan budaya, komunitas sosial, agama, politik
yang diuraikan dalam bentuk narasi sehingga enak untuk dibaca dan mudah di
cerna serta dapat merangsang kita untuk mengetahui sampai habis isi dari buku.
Perjuangan Kiai Sadrach Supranoto sebagai mediator injil mampu memisahkan diri
dari lingkungan tradisi Zending menjadi babak baru dalam penginjilan. Bagi saya
kemampuan beliau untuk berjuang ditengah pergesakan antara tiga kekuatan
cultural yaitu cultural Jawa, Islam dan Barat yang Kristen sesuatu yang sangat
saya apresiasi, meskipun Beliau tidak terlepas dari kekurangan terhadap
pemahaman yang berbeda dari isi Firman Allah pada kepercayaan Kristen pada
umumnya. Tetapi itu dapat dipahami karena memang masyarakat Jawa telah memiliki
kebudayaan serta falsafah hidupnya sendiri sebelum berbagai kebudayaan masuk.
Dan juga melihat latar belakang Kiai Sadrach Supranoto merupakan penganut
kepercayaan agama Islam.
Buku ini sangat bagus karena
penulisan bab demi bab yang sistematis, dimulai dari titik awal memahami
masalah yang terdapat dalam bab berikutnya. Dan juga ditambah penutup sebagai
ulasan kembali dari bab-bab yang mendahuluinya. Jadi memang benar buku ini
sangat relevan digunakan sebagai suatu metode pendekatan dalam pengembangan
teoligi yang kontekstual di Indonesia sehingga mampu membangkitkan semangat dan
kebaggan budaya sendiri. Penjelasan dari buku ini semankin kuat karena Pertama menambahkan footnote sebagai
sumber kutipan. Kedua buku ini
menyisipkan kutipan-kutipan Alkitab yang langsung ditulis, sehingga kita tidak
perlu membuka Alkitab untuk mengetahui kutipannya. Ketiga, menambahkan lampiran-lampiran baik berupa gambar seperti
gambar denah kompleks Jemaat Kristen jawa Merdeka, gambar peta daerah yang di
pengaruhi Kiai Sadrach Suropranoto, gambar foto Kiai Sadrach Suropranoto
sendiri, gambar gereja dan kursi bahkan tempat tidur Kiai Sadrach Suropranoto.
Sehingga kita dapat membayangkan tentang Kiai Sadrach Suropranoto itu sendiri.
Jika ingin melihat kekurangannya, sulit
bagi saya mencari kekurangan buku ini, hanya saja dalam penulisan footnote yang
tidak langsung ditulis disetiap halaman membuat pembaca harus melihat keakhir
bab untuk mengetahui sumber kutipan tersebut. Pada penulisan tahun terdapat
kesalahan pada halaman 132 tentang Penginjil yang membuat laporan mengenai
ajaran-ajaran Kiai Sadrach Suropranoto yang bertentangan, menurut saya mungkin
tahun 1890 tetapi ditulis 1980. Karena Kiai Sadrach Suropranoto sendiri
meninggal pada tahun 1924.
Singkatnya, buku ini saya
rekomendasikan bagi mereka yang ingin belajar Antropologi Budaya bagi umat
Kristen. Dan bagi orang yang ingin mengetahui bagaimana Injil dapat dinikmati
semua golongan masyarakat dalam budayanya sendiri.
Post a Comment