DOKTRIN
ALLAH 04 – Nama-nama Allah (By Dr. Erastus Sabdono)
Nama-nama Allah
Dalam
Alkitab kita menemukan beberapa sebutan untuk nama Allah. Tentu yang menjadi
dasar sumber kita adalah Alkitab, khususnya Alkitab Perjanjian Lama yang
pertama memperkenalkan Allah yang menciptakan langit dan bumi. Tidak ada kitab
dalam dunia yang mencatat mengenai keberadaan Allah yang sedemikian lengkap
selain kitab bangsa Yahudi.
Nama-nama itu antara lain:
Elohim, kata ini paling populer dalam
Alkitab. Kata ini kelengkapan dari kata El adalah bentuk tunggalnya yang artinya
The Mighty (Yang Mahakuasa atau Mahakuat). Dari kata El inilah diperluas
menjadi beberapa gelar dari Allah seperti:
- El Shadday yang artinya Allah yang Mahakuasa,
- El Olam yang artinya Allah yang Kekal,
- El Elyon yang artinya Allah yang Mahatinggi,
- Eloah untuk menunjukkan Yang Mahakuat.
Yahweh, ini adalah nama yang ditemukan
oleh Musa ketika ia berhadapan dengan Allah di Midian, yaitu ketika ia menerima
mandat untuk membebaskan umat Israel dari Mesir. Kata ini bertalian dengan
perkenalan diri Allah kepada Musa, ketika Ia menyebut nama-Nya Ehyeh Asher
Ehyeh (Aku adalah Aku). Tetapi nama ini tidak disebut oleh orang-orang
Yahudi oleh sebab mereka menganggap nama ini sangat mulia dan kudus. Sehingga
mereka melafalkannya dengan kata Adonai atau kadang hanya menyebut
dengan kata “Nama-Nya“.
Larangan
menyebut nama Tuhan dengan sembarangan dalam hukum ke tiga biasanya dikaitkan
dengan sebutan Yahweh ini. Itulah sebabnya mereka mengucapkan kata Adonai
sebagai penggantinya. Adapun kalau dalam perkembangan terdapat kata Yehova
sebenarnya tidak ada kata ini dalam kamus bahasa Ibrani awal. Kata ini muncul
sebagai bagian dari perubahan proses bahasa. Dalam perkembangannya terdapat
gelar-gelar Allah gabungan dari kata Yehova ini:
- Jehova-yireh, artinya Allahlah yang menyediakan (Kej 22:8, 14).
- Jehova-nissi, artinya Tuhanlah panji-panjiku (Kel 17). Gelar ini bisa berarti bahwa Allah adalah yang memberi kemenangan.
- Jehova-syalom, artinya Tuhan adalah keselamatan (Hak 6:24). Gelar ini juga bisa berarti Allah adalah Raja Damai.
- Jehova-tsikenu, artinya Tuhan adalah keadilan kita (Yer 23:6; 33:16).
- Jehova-syamma, artinya Tuhan hadir disini (Yeh 48:35).
- Yahwe Zebaot, artinya Tuhan semesta alam (1Sam 17:45).
- Yahwe’elohe Yisrael, artinya Tuhan Allah Israel, biasanya gelar ini menyertai bila Allah diperkenalkan sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub (Hak 5:3; Yes 17:6; Zef 2:9).
- Yehova Raah, artinya Tuhan adalah Gembalaku (Maz 23:1).
- Yehova Rapha, artinya Allah yang menyembuhkan (Kel 15:26)
Selain itu
ada beberapa gelar Allah lainnya:
- Qedosi Yisrael, artinya Allah yang Mahakudus (banyak terdapat dalam Alkitab khususnya di kitab Yesaya). Gelar ini sejajar dengan:
- Allah Netsakh Yisrael (Sang Mulia dari Israel, 1Sam 15:29) dan
- Abir Yisrael (Yang Mahakuat Pelindung Israel, Yes 1:24).
- Attiq Yomin artinya yang lanjut usia. Inilah gambaran dari Allah yang digambarkan oleh Daniel dalam kitabnya.
Melengkapi
penjelasan nama Yahweh ternyata dari pictogram Yahudi didapati hal yang luar
biasa. Nama Yahweh dalam bahasa Ibrani (Yud, He, Vav,
He). Pictogram Yud adalah hand (tangan). Pictogram He
adalah behold (lihatlah). Pictogram Vav adalah nail (paku).
Jadi Yahweh berarti Behold the hand, behold the nail. Lihat
tangan-Nya, lihatlah paku-Nya.
Adonai, kata ini berarti my Master
(tuanku). Kata adon menunjuk status seorang yang memerintah atau
seseorang yang berkuasa atas budak-budak. Adonai dipahami sebagai tuan dari
banyak tuan-tuan. Kata ini dilafalkan ketika menyebut Yahweh atau hendak
memanggil pribadi Yahweh. Allah juga disebut sebagai Bapa. Hal ini dipahami
jika kita mengerti apa yang dikatakan oleh Ibrani 12:9, bahwa Ia adalah Bapa
segala roh. Maksudnya adalah bahwa semua keberadaan makhluk hidup yang memiliki
roh berasal dari Dia. Dalam Perjanjian Lama juga sudah digulirkan konsep bahwa
Allah adalah Bapa umat (Ul 32:6; Yer 31:9).
Dalam
Perjanjian Baru kita menemukan kata Theos. Kata ini sebenarnya sejajar
dengan kata El (Elohim). Tetapi tidak sejajar dengan kata Yahweh,
sebab nama ini sangat khusus. Nama untuk menunjukkan keberadaan-Nya bagi umat Israel.
Adapun kalau di Perjanjian Baru kita temukan kata “Tuhan”, kata ini lebih
sering ditujukan kepada Tuhan Yesus. Kata ini sejajar dengan kata Adonai.
Sebenarnya kata Kurios ini adalah nama gelar yang di sandang oleh Alexander The
Great, murid-murid menggunakan gelar ini mengenakan bagi Tuhan Yesus.
Masalah Nama Allah
Kata
“Allah” dalam bahasa Indonesia sangat besar kemungkinan dari bahasa Arab. Kalau
terdapat penemuan bahwa nama Allah ini sebenarnya adalah nama salah satu dewa
di Arab pada zaman pra-islam (alaha, al-ilah), selain al-lata, al uzza dan nama
lain yang dapat ditemukan, karena sebelum zaman Islam di Arab memang terdapat
banyak dewa-dewa yang disembah. Jadi kalau ada nama allah di Arab pada zaman
pra-Islam, hal ini bukan sesuatu yang mengherankan. Karena ribuan tahun sebelum
ada agama-agama di Arab atau berbagai penyembahan kepada dewa-dewa, di
Palestina secara umum sebutan el atau eloah sudah sangat lazim
digunakan untuk memanggil nama ilah, dewa atau yang diyakini sebagai pribadi
ilahi yang menciptakan langit dan bumi. Alkitab Perjanjian Lama sendiri
memunculkan nama el, eloah, kata ini berakar pada suatu kata yang
berarti “kekuatan atau tenaga” (the Mighty). Adalah hal yang sangat mudah
terjadi dalam perkembangan bahasa kata El atau Eloah menjadi al-ilah, alaha
kemudian menjadi Allah.
Karena
dipandang oleh orang-orang Kristen sebelum zaman Islam, bahwa menyebut nama
Allah tidak melanggar kebenaran maka sebutan Allah itu digunakan secara umum di
Arab. Jadi, sebenarnya sebelum ada agama Islam nama Allah juga sudah digunakan
orang-orang Kristen di Arab untuk memanggil Allah Bapa. Dengan demikian sebutan
Allah sejatinya bukan monopoli milik agama Islam, tetapi juga digunakan oleh
orang Kristen Arab. Hal ini diakui sendiri oleh seorang theolog Muslim yang
tidak diragukan kepiawaiannya dalam analisisnya yaitu Nurcholish Majid dalam
bukunya yang berjudul Islam, Doktrin dan Peradaban, terbitan dari
Paramadina.
Apakah
penggunaan nama Allah bagi orang Kristen, bisa memunculkan masalah? Bisa saja,
tergantung dari sudut pandang seseorang. Kalau nama Allah diyakini sebagai nama
salah satu dewa yang tidak boleh disebut maka jelas akan timbul persoalan.
Dalam ibadah dan penyembahan oleh sebagian besar orang Kristen yang menggunakan
nama Allah, mereka dianggap sebagai memanggil nama dewa, bukan Pribadi yang
Mahatinggi yang harus menjadi obyek penyembahan. Ini bisa dikategorikan
penyembahan kepada Allah lain. Bahkan ada tudingan terhadap orang-orang Kristen
yang menggunakan nama Allah sebagai telah melakukan penghujatan kepada Allah
yang benar. Itulah sebabnya mereka mengusulkan agar nama Allah dalam Alkitab
diganti dengan Elohim.
Rupanya
kelompok anti nama Allah begitu resisten terhadap kata Allah, sehingga mereka
menganggapnya “tidak pantas” bila digunakan dalam lingkungan gereja, sampai
dianggap sebagai penyembahan berhala jika menggunakannya. Padahal yang penting
adalah obyek yang dituju. Kalau orang percaya memakai nama Allah itu tidak
ditujukan kepada Pribadi lain, tetapi Pribadi yang disembah oleh Abraham, Ishak
dan Yakub, yang mengutus Putra-Nya Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru
Selamat. Di sini yang penting bukan bagaimana kita menyebut nama-Nya tetapi
bagaimana kita mengenal Dia atau mengenal pribadi-Nya (Yoh 17:3). Tentu saja
kita tidak sembarangan memilih nama untuk menyebut Dia yang Mahamulia.
Dalam
masyarakat Indonesia, ternyata terdapat kelompok kecil umat Muslim yang
mengklaim bahwa nama Allah adalah nama diri Pribadi Yang Mahatinggi. Mereka
menganggap bahwa nama itu secara eksklusif hanya dimiliki oleh mereka, sehingga
ada keberatan dalam penggunaan nama tersebut bagi agama lain, khususnya agama
Kristen. Hal ini pernah juga terjadi gencar di Malaysia sehingga pernah muncul
kampanye yang melarang penggunaan nama itu bagi agama lain. Penulis sendiri
pernah mendapat selebaran dari kelompok tertentu yang menghimbau atau tegasnya
melarang orang Kristen menggunakan nama Allah. Kita harus menanggapinya dengan
kepala dingin dan lapang dada. Tidak semua orang Islam berpendirian demikian,
bahkan sebagian besar mereka tidak mempersoalkannya.
Bukan satu
hal yang sulit terjadi, kalau Alkitab Bahasa Indonesia yang berakar pada bahasa
Melayu menggunakan nama Allah dalam sebutannya bagi nama Allah, terjemahan dari
Yahweh dan Elohim. Nama ini secara tidak langsung telah diterima dan diakui
oleh para penterjemah Alkitab sejak semula sebagai nama diri dan sebutan bagi
Pribadi yang menciptakan langit dan bumi. Hal ini dipandang bukan masalah yang
dapat merusak dasar-dasar pengajaran dan theologia Kristen.
Keberatan
yang marak terjadi dewasa ini oleh kelompok pemuja nama Yahweh terhadap gereja
yang menyebut nama Allah, berangkat dari pandangan mereka bahwa selain nama
allah adalah nama salah satu dewa di Arab yang tidak patut disebut, mereka
menekankan bahwa Yahweh adalah nama diri Pribadi Yang Mahatinggi yang tidak
boleh diterjemahkan. Secara tidak langsung kelompok kecil orang-orang Kristen
yang “ngotot” menentang nama Allah ini melakukan pelecehan terhadap umat Islam
yang menggunakan nama Allah sebagai nama diri Allah mereka, seakan-akan umat
Muslim menggunakan nama dewa sebagai nama diri Allah Yang Mahakuasa dan
Mahatinggi. Secara tidak langsung sikap mereka yang anti nama Allah melahirkan
tudingan bahwa umat Muslim telah menyembah dewa. Hal ini bisa merusak tatanan
hidup bermasyarakat yang harus berdampingan dengan harmonis, khususnya di
masyarakat Indonesia yang majemuk, apalagi yang mayoritasnya beragama Islam.
Penggunaan Nama Yahweh
Setiap
nama untuk Pribadi yang Mahatinggi dimunculkan Alkitab memiliki keterkaitan
dengan umat dalam pergumulannya. Setiap sebutan untuk nama Allah mengandung
makna dalam mengisi relasi antara Allah dan umat dalam suatu peristiwa. Di
banyak bagian Allah disebut sebagai Elohim, tetapi di bagian lain
disebut El-Betel, di tempat lain disebut El-Elyon, di bagian lain
lagi disebut Yahweh. Harus diakui nama Yahweh lebih khusus, tetapi bukan
berarti Yahweh menjadi lebih bernilai dibanding dengan sebutan untuk nama lain
bagi Pribadi Yang Mahatinggi.
Oleh sebab
itu kita tidak boleh menganggap sebutan nama Allah yang satu lebih berarti dari
sebutan nama Allah yang lain; misalnya nama Yahweh lebih berarti dari nama
Elohim atau sebaliknya. Segala sesuatu harus dilihat dari konteksnya. Kalau ada
beberapa kelompok Kristen yang selama ini menganggap bahwa nama satu-satunya
Pribadi Yang Mahatinggi adalah Yahweh sedangkan kata “allah” adalah nama allah
bangsa kafir (nama dewa di Arab), maka perlulah kita mengujinya dengan jujur
dan cerdas. Hal ini berkenaan dengan nama Yahweh sebagai nama diri Allah.
Sebagai orang Kristen yang dewasa kita tidak perlu berdebat kusir berkenaan
dengan nama Allah. Lebih baik kita menghindari perdebatan dengan mereka yang
memiliki wawasan yang sempit dalam cara memandang Alkitab.
Kalau kita
meneliti Kitab Keluaran, Allah menunjukkan nama diri-Nya sebagai Yahweh kepada
Musa, hal ini berhubung dengan pernyataan Musa dalam mempersoalkan atau
menanyakan nama Allah (Kel 3:13-15). Apakah Allah perlu memberi tahu nama
“Yahweh” bila Musa tidak menanyakannya? Tentu saja tidak. Sebab kalau nama itu
dipandang sebagai sangat penting untuk diketahui bangsa Israel, tentu Allah
sudah memberi tahu kepada Abraham, Musa dan banyak tokoh lainnya untuk
menjelaskan kepentingan nama tersebut. Bahkan sekalipun Tuhan berbicara
mengenai “memperkenalkan nama-Nya (Yahweh)” itu bukan berarti hanya
memperkenalkan nama diri (Yahweh) tersebut, tetapi memperkenalkan atau menunjuk
kehendak-Nya. Menuliskan hal ini bukan berarti nama Yahweh boleh diabaikan atau
dilecehkan. Penjelasan ini hanya hendak mengemukakan bahwa hendaknya kita
berpikir secara proposional, luas dan jujur.
Harus
diingat seandainya orang Jawa yang menjadi umat pilihan Allah, maka Allah akan
memiliki kata seirama dengan lidah orang Jawa misalnya Karto atau Widodo. Harus
diingat pula bahwa Allah tidak perlu akte kelahiran untuk menunjukkan nama-Nya.
Kalau nama dianggap memiliki arti mewakili keberadaan si pemilik, maka tidak
ada nama yang bisa menampung kebesaran Allah semesta alam yang tidak terbatas. Sejatinya
kita tidak pernah tahu suatu nama yang dapat mewakili keberadaan Allah yang
Mahatinggi. Itulah sebabnya ketika Musa bertanya kepada Allah siapa nama-Nya,
ia menjawab: Ehyeh Asyer Ehyeh atau Aku adalah Aku (Ing. I am
that I am). Nama Allah yang panjang ini sebenarnya hendak menunjukkan bahwa
diri-Nya secara utuh dan lengkap tidak bisa diwakili oleh suatu nama; bahkan
nama Yahweh. Apakah anda yakin di langit baru dan bumi yang baru nanti, ketika
pengetahuan menjadi lengkap Allah masih menggunakan nama Yahweh?
Memang
nama menjadi tidak penting ketika menekankan substansi dari suatu Pribadi.
Substansi di sini maksudnya adalah keberadaan diri Allah dan seluruh hakekat
serta segala sesuatu yang pada-Nya menyangkut hubungannya dengan manusia. Bila
hal ini dikenakan bagi Pribadi Yang Mahatinggi, yang penting bukan nama atau
sebutan diri suatu Pribadi yaitu Yahweh, tetapi mengenal substansinya atau
mengenal pribadinya. Hal ini bertalian dengan relasi yang harus dibangun atau
dijalin antara pribadi umat dengan pribadi-Nya, sebab tidak mengenal
Pribadi-Nya berarti kebinasaan (Hos 4:6). Hendaknya konsep ini tidak
disimpangkan atau diubah dengan pernyataan bahwa tidak mengenal “nama Yahweh”
berarti tidak mengenal substansi-Nya.
Betapa
naifnya kalau orang berpikir bahwa dengan mengenal nama diri Pribadi Allah
(Yahweh) berarti ia sudah mengenal Allah dengan benar atau paling tidak lebih
resmi menjadi umat-Nya. Tuhan tidak akan menggantikan atau melimpahkan
kehormatan-Nya hanya pada suatu nama yang bisa dieja manusia. Apa artinya
mengenal “nama sebutan” Allah dalam hal ini Yahweh tetapi tidak memiliki
pengenalan yang memadai. Hendaknya kita tidak berpikir bahwa mengenal nama
Allah berarti sudah mengenal Allah yang benar. Kalau Allah mengatakan bahwa ada
orang-orang yang mengenal nama-Nya bukan berarti hanya sebutan Yahweh
semata-mata tetapi mengenal pribadi-Nya. Memperkenalkan nama-Nya bukan hanya
berarti memperkenalkan nama diri-Nya tetapi memperkenalkan keselamatan dari
pada-Nya.
Allah
tidak akan mengijinkan pendewaan kepada sesuatu termasuk kepada sebutan
“Nama-Nya”. Kalau dikatakan bahwa Nama TUHAN (Yahweh) adalah menara yang kuat,
ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat (Ams 18:10), ini bukan
berarti nama dalam arti sebutan yang memiliki kekuatan tetapi Tuhan yang
dimaksud oleh kata Yahweh tersebut. Dalam hal ini hendaknya kita tidak
memandang nama Yahweh secara mistik. Kalau dalam Mazmur 8:2 dikatakan bahwa
nama Tuhan (Yahweh) sangat mulia, tentu yang mulia bukanlah nama dalam arti
sebutan Yahweh tetapi diri Allah itu sendiri. Jadi yang mulia adalah Pribadi
yang dimaksud dengan “label” Yahweh tersebut. Banyak lagi kasus yang serupa
dengan ini. Konklusinya adalah bahwa yang hendak ditekankan bukanlah nama
Yahweh tetapi diri Pribadi yang diberi label Yahweh. Oleh karenanya kita harus
bisa membedakan antara nama sebutan Yahweh dan Pribadi Yahweh sendiri.
Hendaknya kita tidak melekatkan Pribadi Yang Mahatinggi dengan sebuah nama atau
sebutan, seakan-akan Ia kehilangan keberadaan dan seluruh hakekat-Nya tanpa
nama tersebut.
Kalau
seseorang sudah menganggap bahwa nama diri (Yahweh) sudah mewakili seluruh
keberadaan Allah, maka ia tidak akan pernah bisa menempatkan segala sesuatu
mengenai Allah pada proporsinya. Mereka tidak bisa diajak berbicara atau
berdialog dengan pikiran sehat. Biasanya mereka merasa diri sudah paling benar
dan menganggap gereja yang menggunakan nama Allah bukan nama Yahweh atau Elohim
adalah gereja yang sudah menyimpang dari kebenaran. Mereka telah menganggap
begitu mutlaknya nama itu harus digunakan, seakan-akan dengan menggunakan nama
itu maka keabsahan mereka sebagai orang percaya terjamin.
Memang
nama Yahweh menjadi sangat penting jika digunakan untuk membedakan dengan
dewa-dewa lain. Kalau berkali-kali diperingatkan agar bangsa Israel
meninggikan, menghargai dan memandang khusus nama-Nya yaitu “Yahweh” hal itu
berkenaan dengan kenyataan adanya banyak dewa-dewa yang disembah oleh bangsa
kafir (Baal, Asyera, Asytoret, Dagon, Molokh dan lain sebagainya). Praktek
penyembahan berhala ini merupakan ancaman yang sangat serius bagi umat pilihan.
Kalau bangsa Israel diperintahkan untuk menguduskan nama-Nya (Yahweh), bukan
berarti nama Yahweh dikuduskan, tetapi menghormati kehadiran Allah di
tengah-tengah mereka dengan hidup sesuai dengan perintah-Nya.
Penegasan
terhadap nama Yahweh dimaksudkan agar bangsa Israel tidak menyembah dewa lain.
Pokok masalahnya bukan pada “sebutan nama diri Allah itu sendiri, tetapi obyek
penyembahan atau pemujaan. Hal ini dimaksudkan agar umat berporos pada Pribadi yang
Mahatinggi yang disembah oleh Abraham, Ishak dan Yakub, yang memperkenalkan
diri dengan nama Yahweh. Kalau Allah Anak diberi nama Yesus atau perintah Allah
Bapa, hal ini dimaksudkan Allah Anak mengemban tugas “penyelamatan” (Mat 1:21).
Hal ini jelas akan membedakan antara Tuhan Yesus dengan semua anak yang lahir
di dunia. Dengan demikian nama Yesus sekaligus menunjuk substansi Allah Anak
ini.
Kalau
Alkitab berbicara mengenai nama diri (Yahweh), hal ini menunjuk keberadaan
diri-Nya, bukan sekedar sebutan nama saja (Yahweh). Kalau Dalam Dekalog umat
dilarang menyebut nama-Nya dengan sembarangan maksudnya agar umat tidak
menggunakan nama-Nya untuk kepentingan dan kemuliaan yang lain. Dalam hal ini
yang dipersoalkan bukan nama Yahweh itu sendiri, tetapi keberadaan-Nya yang
terhormat, yang tidak boleh dilecehkan, dimanipulasi dan dimanfaatkan.
Pada zaman
Perjanjian Baru, Tuhan Yesus selalu menggunakan nama Bapa untuk sebutan Pribadi
Yang Mahatinggi. Secara tidak langsung Tuhan mengesankan bahwa sebutan Bapa lebih
berarti dari sebutan “nama diri” Yahweh yang diyakini oleh sekelompok orang
pemuja Yahweh sebagai mutlak harus digunakan. Kalau Tuhan Yesus mengatakan
bahwa Ia telah memperkenalkan atau menyatakan nama-Nya bukan berarti yang
diperkenalkan atau dinyatakan nama Yahweh tetapi memperkenalkan Pribadi-Nya
atau pengenalan akan Dia (Yoh 17:6). Kalau dalam pasal yang sama Tuhan Yesus
memohon kepada Bapa agar memelihara orang percaya dalam nama-Nya, bukan berarti
nama Yahweh menjadi mistik melindungi orang percaya tetapi keberadaan Allah
yang Mahakuasa yang melindungi umat-Nya (Yoh 17:11). Bukan nama Yahweh yang
melindungi umat pilihan, tetapi Allah sendiri.
Hendaknya
kita tidak beranggapan bahwa kalau kita tidak menggunakan nama Yahweh berarti
akan salah alamat. Dalam hal ini seakan-akan Allah tidak akan memperdulikan
siapapun yang berurusan dengan diri-Nya tanpa nama ini (Yahweh). Dalam
Perjanjian Baru, jelas sekali yang dipersoalkan bukan nama Yahweh, tetapi jalan
keselamatan melalui atau di dalam Tuhan Yesus Kristus (Yoh 14:6; Kis 4:12).
Kalau Tuhan Yesus memandang bahwa nama ini (Yahweh) syarat mutlak untuk
berurusan dengan Pribadi Yang Mahatinggi, maka Tuhan akan mengajarkannya dengan
gencar.
Post a Comment