Home » » DOKTRIN ALLAH 02 - Argumentasi-argumentasi Teistik

DOKTRIN ALLAH 02 - Argumentasi-argumentasi Teistik


DOKTRIN ALLAH 02 – Argumentasi-argumentasi Teistik (By Dr. Erastus Sabdono)

Berkenaan dengan keberadaan Allah, menjadi masalah yang terus diperbincangkan dalam dunia theologia, yaitu bagaimana membuktikan bahwa Allah itu ada. Hal ini harus dipahami sebagai sesuatu yang wajar, sebab pada umumnya logika manusia hendak dipuaskan terhadap apa yang dianggap sebagai suatu kebenaran, jika ada bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran itu. Jika sesuatu dianggap sebagai suatu kebenaran tetapi tidak ada pembuktiannya, maka hal itu tidak akan mudah diterima. Demikian pula dengan Allah. Kalau Allah diakui atau dipercayai sebagai “suatu realitas”, harus ada pembuktian yang menunjukkan keberadaan-Nya.

Inilah yang membuat orang-orang atheis tidak bisa menerima keberadaan Allah sebab Allah dianggap tidak memiliki bukti yang kuat untuk menunjukkan keberadaan-Nya. Bahkan kemudian timbul asumsi bahwa Allah sudah mati. Fenomena ini tidak perlu membuat orang percaya gusar, sebab dalam 2Petrus 3:1-13, telah dinubuatkan bahwa pada suatu saat muncul pengejek-pengejek atau pencemooh (Yunani: empaiktes, a mocher, a scoffer) yang melecehkan keberadaan Allah.
Aspek lain mengapa keberadaan Allah selalu dipersoalkan sebab pada umumnya pada diri manusia terdapat kehausan untuk mencari tahu sesuatu yang ada di luar dirinya. Allah termasuk realitas di luar dirinya, selain itu selalu ada kehausan dalam diri manusia terhadap Allah (Maz 42:2-5). Oleh karena manusia mengisi cita rasa jiwa dan spiritualnya dengan perkara-perkara dunia (materi) maka kehausan tersebut telah tergantikan, sehingga tidak mencari Allah lagi. Manusia mencari kepuasan jiwa yang semu. Dari hal inilah iblis menggiring manusia ke dalam kegelapan abadi.

Menjadi persoalan kita: apakah ada bukti-bukti yang bisa menjadi dasar untuk menunjukkan bahwa Allah itu ada? Melalui pergumulan yang panjang dalam sejarah gereja oleh para theologi diupayakan bukti-bukti untuk menunjukkan bahwa Allah itu ada. Di bawah ini ada beberapa bukti yang biasanya dikemukakan untuk bisa membuktikan atau meneguhkan bahwa Allah itu ada. Bukti-bukti tersebut juga disebut sebagai argumentasi-argumentasi atau bukti-bukti teistik. Teistik artinya berkenaan atau bersifat Allah.

Walaupun argumentasi-argumentasi di bawah ini tidaklah bisa menjadi landasan yang kokoh dalam membangun iman yang murni, tetapi bagaimanapun juga argumentasi-argumentasi ini, sekecil apapun perannya tetapi tetap paling tidak memberi bukti bahwa Allah itu ada. Bagi yang sudah beriman, argumentasi-argumentasi ini memberi topangan untuk meyakini atau meneguhkan mengenai keberadaan Allah, sehingga orang beriman tidak meragukan sama sekali bukti-bukti teistik tersebut. Mereka mengakui bahwa semua bukti tersebut sebagai karya agung tangan yang tidak kelihatan (Invisible Hand). Sejujurnya sulitlah menolak kenyataan adanya relasi antara Allah dan manusia serta kosmos (alam semesta ini). Berdasarkan relasi yang bisa tersambung maka dibangunnya argumentasi-argumentasi atau bukti teistik ini. Argumentasi-argumentasi tersebut antara lain:

Argumentasi Antropologis

Antropologis berasal dari kata anthropo yang artinya manusia. Argumentasi ini berpijak pada anggapan bahwa tidak mungkin manusia dengan metabolisme yang rumit dan sempurna ini eksis karena suatu kebetulan, pasti ada tangan yang menciptakannya. Banyak alat eletronik yang memiliki kerumitan yang tinggi, tetapi tubuh manusia memiliki komponen yang lebih tinggi kompleksitasnya. Itulah sebabnya para ilmuwan yang berkecimpung di dunia medis, tak henti-hentinya kagum terhadap keberadaan tubuh manusia yang luar biasa ini dan mereka tidak pernah kehabisan obyek penelitian atas tubuh manusia ini.

Jadi, manusia adalah makhluk yang menakjubkan yang tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti ada pribadi yang sangat cerdas yang menciptakannya dengan ketelitian yang sempurna. Dengan hal ini Allah tertunjuk atau diyakini serta dipercayai sebagai Penciptanya. Selanjutnya dengan dasar argumentasi ini Allah bisa dibuktikan sebagai eksis. Penganut argumentasi ini tentu menentang keras teori evolusi ateis yang tidak mengakui penciptaan manusia sebagai karya Allah yang Maha Agung seperti yang tertulis dalam kitab Kejadian 1 dan 2. Pada dasarnya argumentasi antropologis ini menegaskan adanya manusia karena keberadaan Allah sebagai Penciptanya.
Dalam pemberitaannya, Paulus menyinggung secara tidak langsung mengenai bukti antropologis ini. Pernyataannya jelas sekali: “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujangga-Mu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga. Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia.” Dengan pernyataan ini Paulus menunjukkan bahwa manusia eksis karena Allah yang “melahirkannya” (Kis 17:28-29). Jadi dengan adanya manusia berarti ada Allah yang melahirkannya. Jika dilihat dari pola penalarannya argumentasi antropologis ini bersifat induktif.

Argumentasi Moral

Argumentasi ini berpijak pada anggapan pada suatu fakta bahwa di manapun di belahan dunia ini terdapat hukum moral atau etika yang mirip atau sama. Hukum moral ini bukan hanya pada masyarakat modern yang berbudaya tinggi dan edukatif, tetapi juga pada suku-suku terasing yang jauh dari jamahan peradaban modern. Hukum moral atau etika itu antara lain; orang tua harus dihormati, tidak boleh membunuh sesamanya dengan sembarangan, harus menghargai milik orang lain dan lain sebagainya. Hal ini sungguh-sungguh sesuatu yang menakjubkan.
Realita adanya keseragaman moral pada semua manusia ini tidak mungkin terjadi atau ada secara kebetulan. Diyakini ada designer agung yang menyusun dan menuliskannya dalam lubuk hati manusia atau yang berprakarsa mengadakannya. Kesadaran moral ini dipandang sebagai misteri ilahi yang luar biasa yang bisa dijadikan dasar atau bukti bahwa Allah itu ada. Dalam Roma 2:12-15 Alkitab juga menginformasikan bahwa Allah menulis torat-Nya di dalam hati manusia. Pengertian menulis tidak boleh dipahami secara mistis. Tetapi harus dipahami sebagai mekanisme pewarisan estafet yang diajarkan Tuhan kepada Adam, dan Adam mengajarkannya kepada keturunannya dari generasi ke generasi dimanapun mereka berada.  Oleh karena hal ini, tidak mengherankan banyak agama dan budaya di luar bangsa Israel dan ke-Kristenan yang memiliki nilai-nilai luhur. Jika dilihat dari pola penalarannya argumentasi moral ini bersifat induktif.

Argumentasi Kosmologis

Argumentasi ini berpijak pada anggapan bahwa jagad raya yang ada dengan keteraturannya yang sempurna ini pasti ada yang menciptakan. Rumitnya sebuah benda seperti alat elektonik, tidak mungkin ada tanpa ada yang menciptakannya. Menurut argumentasi ini bahwa segala sesuatu pasti ada penyebabnya. Alam semesta atau kosmos yang dari bahasa Yunani cosmos artinya dunia, menyimpan berjuta misteri yang sangat mengagumkan. Para astronom tidak pernah berhenti menyelidiki alam semesta yang ternyata semakin dipelajari semakin mengungkap tabir rahasia yang menakjubkan dan masih banyak misteri yang belum dapat dimengerti. Itulah sebabnya sampai hari ini, astronomi adalah satu ilmu atau studi yang progresif dan tidak pernah kehabisan bahan obyek penyelidikannya. Itulah sebabnya secara berkala dalam jurnal-jurnal ilmu pengetahuan khususnya astronomi selalu saja ada penemuan mengenai berbagai planet baru dan fenomena jagad raya ini.

Sejujurnya secara umum pengetahuan awal manusia walaupun tidak sempurna adalah mengenai kosmos yang dapat dilihat dan diraba (the initial knowledge of cosmic reality). Kemudian manusia mulai memperkarakan siapa dan apa di balik realitas ini. Asumsinya jelas bahwa tidak ada akibat tanpa penyebab. Kalau ada kosmos yang dahsyat ini pasti ada pembuat atau penyebabnya. Argumentasi kosmologis ini oleh orang tertentu sering dipandang sebagai bukti atau argumentasi yang lemah sebab kalau berbicara mengenai hukum akibat, maka juga akan membawa kepada pertanyaan: apa yang menjadi penyebab adanya Allah. Seharusnya hal ini bisa kita abaikan sebab sesungguhnya segala sesuatu ada yang menciptakan tetapi Penciptanya sendiri ada bukan karena ada yang menyebabkannya. Ini adalah harga mati yang tidak bisa direduksi nilainya. Dia adalah Allah yang dari kekal sampai kekal.

Namun kekuatan dari argumentasi kosmologis ini ditopang oleh pernyataan Firman Tuhan bahwa Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberikan pekerjaan tangan-Nya (Maz 19:2). Teks lain menyatakan bahwa apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih (Rom 1:20). Paulus dalam pemberitaannya menggunakan argumentasi ini untuk menunjukkan adanya Allah ketika ia menyatakan: “Hai kamu sekalian, mengapa kamu berbuat demikian? Kami ini adalah manusia biasa sama seperti kamu. Kami ada di sini untuk memberitakan Injil kepada kamu, supaya kamu meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya (Kis 14:15). Dalam pernyataan ini Paulus mengikrarkan adanya Allah yang menciptakan langit dan bumi. Jika dilihat dari pola penalarannya argumentasi kosmologis ini bersifat induktif.

Argumentasi Teleologis

Kata teleologis dari kata bahasa Yunani telos yang artinya cessation (penghentian), conclusion (kesimpulan), end (akhir), goal (tujuan akhir), outcome (hasil atau akibat). Argumentasi teleologis ini berpijak pada anggapan bahwa keteraturan tahanan (order) jagad raya yang sempurna dan sangat indah menakjubkan (beauty) ini tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti ada tangan yang menciptakan dan yang secara berkesinambungan mengatur mekanisme serta keteraturannya. Siklus alam, siklus kehidupan berbagai makhluk dengan habitatnya masing-masing dan segala keharmonisan kehidupan dengan segala hukum-hukumnya yang teratur menunjukkan adanya tangan yang tidak kelihatan yang mengaturnya dengan sangat cerdas dan teliti. Semua ini ada untuk suatu tujuan.

Mengamati ketepatan hukum-hukum alam ini, maka dapat diperhitungkan betapa cerdas Dia yang menciptakan semua ini. Keteraturan jagad raya ini pasti diciptakan dengan konsep dan rancangan yang sempurna. Walaupun argumentasi ini dianggap lemah, tetapi sebagai orang percaya kita meyakini tangan yang tidak kelihatan yang menjadi perancang semua ini, yaitu Allah Abraham, Ishak dan Yakub; Allah israel.

Bila argumentasi ini dihubungkan dengan votum yang sering terdengar di liturgi gereja, hal ini sungguh sangat sinkron: bahwa Allah adalah Allah yang memelihara kesetiaan-Nya sampai selama-lamanya dan yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya (Maz 89:29; 121:2). Dengan adanya teks ini, maka argumentasi teleologis bisa digunakan sepantasnya. Jika dilihat dari pola penalarannya argumentasi teleologis ini bersifat induktif.

Argumentasi Ontologis

Kata ontos ini berasal dari bahasa Yunani yang artinya sesuatu yang pasti berkenaan dengan kebenaran (really, certainly, in truth). Kata ini juga berarti sebuah keberadaan. Argumentasi ontologis berpijak pada anggapan bahwa manusia memiliki kesadaran akan adanya keberadaan yang sempurna, yaitu Allah atau pribadi yang Maha Kuasa yang patut diakui sebagai pencipta-Nya. Kesadaran atau naluri ini secara permanen ada dalam manusia (paling tidak, ada pada sebagian besar atau hampir semua manusia).

Kesadaran seperti ini ada pada manusia di manapun manusia berada. Dari suku-suku primitif sampai manusia modern memiliki “naluri” adanya “pribadi” yang Agung yang menciptakan alam semesta dan yang harus disembah atau menjadi obyek pemujaan. Realitas ini dipandang sebagai bukti bahwa Allah itu ada. Dalam sejarah theologia pandangan ini dipopulerkan dan dianut oleh tokoh seperti Descartes, Anselmus dan lain sebagainya.

Argumentasi ini sejajar dengan argumen historis atau argumen etnologis, argumentasi yang berpijak pada keyakinan bahwa setiap suku bangsa di dunia memiliki perasaan atau naluri mengenai “sesuatu yang ilahi”. Karena hal inilah maka tercipta ritual-ritual yang ditujukan kepada obyek-obyek tertentu. Hal inilah yang mendorong manusia untuk mengetahui lebih banyak mengenai “yang ilahi itu” (drive to understand). Dalam tulisan ini argumentasi ontologis digabung dengan argumentasi historis. Argumentasi ontologis ini lebih bersifat filosofi dan deduktif, tetapi juga ada unsur induktifnya. Argumentasi ontologis ini diawali dengan suatu asumsi (bahwa ada suatu pribadi yang ilahi) kemudian diusahakan untuk dapat menemukan verifikasi atau pembuktian dari asumsi tersebut. Ini berarti bersifat deduktif. Tetapi aspek lain dalam argumentasi ini ditemukan kepercayaan mengenai Allah dalam banyak suku bangsa. Berangkat dari hal ini maka dibangun bukti bahwa Allah ada. Ini berarti bersifat induktif.

Seharusnya bukti-bukti di atas ini sudah cukup mendukung atau membuktikan fakta bahwa ada Allah yang hidup yang riil dan yang menjadikan semua yang ada. Seperti seorang penyair (Wordworth) menyatakan: “the world is too much with us …” Ungkapan ini menunjukkan bahwa di balik alam semesta ini dapat membangun suatu kesadaran bahwa ada Allah yang eksis sebagai Penciptanya. Jejak Tuhan pasti nampak nyata melalui tindakan dan karyanya dalam sejarah kehidupan. Kalau jujur sebenarnya keberadaan Allah ini sulit bahkan tidak bisa dibantah.

Namun demikian ada saja kelompok orang yang tidak mengakui keberadaan Allah ini, mereka adalah kaum ateis yaitu kelompok manusia yang tidak percaya bahwa Allah itu ada. Kelompok paham politeisme yang mempercayai adanya banyak dewa sehingga tidak mengaku adanya Allah yang Esa yang menciptakan semua yang ada. Kelompok paham panteistik yaitu mereka yang meyakini bahwa Allah ada di dalam semua bahkan mereka meyakini bahwa segala sesuatu adalah Allah dan Allah adalah segala sesuatu. Kelompok paham agnostik yaitu kelompok yang tidak memiliki pemahaman mengenai Allah atau merasa tidak perlu mengenali-Nya. Kelompok paham deistik yaitu mereka yang tidak percaya bahwa Allah adalah Allah yang berpribadi yang masih hadir dalam kehidupan manusia. Kalaupun ada Allah, maka Allah adalah Allah yang terisolir dari manusia. Kemudian yang marak dewasa ini tanpa disadari telah mewabah adalah filsafat nihilistis.

Alkitab mencatat bahwa banyak peristiwa-peristiwa yang bertalian dengan Allah. Alkitab tidak berusaha untuk membuktikan bahwa Allah ada, sebab para penulisnya telah mengalami bahwa Allah ada. Oleh karenanya mereka tidak perlu lagi membuktikan keberadaan-Nya. Usaha untuk membuktikan bahwa Allah ada, bentuk dari keraguan mengenai keberadaan Allah atau karena belum mengalami secara riil. Bila dipertanyakan bilakah Allah mulai ada? Maka pertanyaan itu tidak akan terjawab. Sebab Allah adalah pribadi yang ada dari kekal sampai kekal. Ia berada bukan karena ada kausalitasnya. Segala sesuatu ada awalnya tetapi tidak dengan Allah. Ia adalah keberadaan yang abadi tidak ada asal muasalnya.

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Supported by: Blogger | Blogger.com
Copyright © 2014. Rumah Pelayanan - All Rights Reserved
WWW . RUMAHPELAYANAN . COM