Home » » Sejarah Singkat Hermeneutik (Hasan Sutanto)

Sejarah Singkat Hermeneutik (Hasan Sutanto)



1.    Sejarah Singkat Hermeneutik
Hasan Sutanto, Hermenutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab (Malang: Gandum Mas, 2007), Hal. 97-213

Penafsir Alkitab perlu mempelajari sejarah hermeneutik, karena pada dasarnya seorang penafsir tidak telepas dari pendahulunya, sejarah heremeneutik juga mengajar penafsir masa kini bersikap rendah hati, dan tidak mudah merasa puas, sejarah Alkitab juga menunjukkan bahwa sejak masa yang amat awal sudah ada yang mempengaruhi perkembangan penafsiran biblikal.
Dalam sejarah penafsiran Alkitab terdapat pola penafsiran yang yang berbeda-beda sepanjang zamannya yaitu:
1.      Pola penafsiran orang Yahudi: dari Ezra sampai zaman Tuhan Yesus
Kitab-kitab yang di kanon dalam kehidupan Yahudi pada tahun 621 SM disebut Tanak yang terdiri dari Torah dan Ketuvim. Untuk lebih mengenal penafsiran orang Yahudi, Ezra adalah tokoh yang hidup pada abad ke-5 SM. Ezra adalah ahli Taurat atau Ahli Kitab, Dia boleh dipandang sebagai pelopor penafsiran pada zaman itu. Pekerjaannya adalah mengajar dan menerjemah karena banyak orang Yahudi hanya menguasai bahasa Aram dan tidak mengerti bahasa Ibrani. Akibat dari banyaknya penindasan dan kebobrokan moral pada saat itu sehingga mereka sangat membutuhkan hiburan dan kekuatan dari Kitab Suci.
Pada tahun 323 SM, orang Yahudi berada dibawah kekuasaan Ptolemy I, jenderal yang diutus oleh Aleksandria, tahun 167 SM mereka boleh menikmati kebebasan pada zaman Makabe, dan pada tahun 63 SM, bangsa ini dukuasai orang Romawi. Faktor ini menumbuhkan berbagai penafsiran yang dapat disaksikan Karya Sastra zaman itu, beberapa karya sastra yang patut disebutkan adalah Septuaginta (LXX), karya Philo, Kitab Gulungan Laut Mati, Targum, midrash, kitab Apokrifa dan Pseudepigrafa orang Yahudi. Dengan pengenalan seperti ini, boleh dikatakan paling tidak ada lima pendekatan yang populer pada masa Yahudi-Romawi, yaitu penafsiran harfiah, midrash, pesher, alegoris, dan tipelogis.
Kini boleh disimpulkan, penafsiran orang Yahudi berkembang sejak Esra, kemudian sudah bertumbuh menjadi sebagai kelompok pada abad pertama.

2.      Pola Penafsiran Tuhan Yesus dan Orang Kristen Abad Pertama.
Sebagian pendirian dan penafsiran Tuhan Yesus dapat dikenal melalui cara menafsir PL seperti:
1.      Tuhan Yesus percaya apa yang dicatat PL merupakan fakta sejarah.
2.      Tuhan Yesus banyak memakai penafsiran pesher, dan juga penafsiran harfiah dan midrash. Namun tidak ditemukan contoh yang membuktikan pemakaian penafsiran alegoris.
3.      Tuhan Yesus menolak praktik pada zaman itu yang sering mengganti firman Allah dengan Tradisi.
Tuhan Yesus dan para peulis PB memang mengambil sikap baru dalam penafsiran mereka. Diri Tuhan Yesus dan cara-Nya menafsir PL diterima orang Kristen sebagai sumber otoritas dan patokan untuk memahami Alkitab.
      Berkenaan dengan penafsiran orang Kristen abad pertama, pembaca masa kini sering dirisaukan kutipan PL yang dibuat penulis PB, karena kutipan ini tidak persis sama dengan PL. Hal ini terjadi karena:
1.      Pada zaman itu beredar beberapa versi terjemahan Alkitab atau edisi Alkitab.
2.      Penulis PB biasanya tidak mengutip bagian dalam PL kata demi kata.
3.      Mengutip PL secara bebas justru membuktikan, penulis-penulis PB mengusai isi kitab yang mereka kutip.
Jadi boleh disimpulkan, penulis PB adalah tokoh-tokoh yang setia dan hormat kepada PL.

3.        Penafsiran Alegoris Pada Masa Awal Kekristenan
Walaupun orang Kristen masa awal mewarisi fondasi yang kukuh dari para rasul dan penulis PB, tetapi stuasi pada zaman itu tidak mengijinkan mereka mengadakan penyelidikan lebih lanjut. Tenaga dan perhatian mereka harus fokuskan kepenganiayaan yang datang dari luar. Ditambah lagi banyaknya penulis dan cedikiawan yang bergabung dengan agama Kristen mempunyai latar belakang Yunani. Ini membuat pengaruh penafsiran alegoris. Ada beberapa sebab yang mendorong gereja zaman itu menerapkan penafsiran alegoris. Salah satunya, gereja ingin melawan ajaran bidah yang mulai muncul, diantaranya Marcionisme. Marcionisme (100-165) adalah seorang pengajar bidah dari Asia Kecil yang mendirikan sektenya di Roma pada tahun 140. Ia menolak PL, menerima sebagian kirab PB, dan tidak percaya bahwa Yesus adalah Firman yang menjadi manusia. Ia percaya dengan pencipta yang ada di PL tidak sama dengan Bapa yang diajarkan Yesus. Demi melawan ajaran bidah ini, bapa-bapa gereja banyak memakai penafsiran alegoris. Namun, pada waktu yang sama secara tidak sadar mereka juga memakai penafsiran harfiah.
Sebenarnya, ada unsur-unsur yang positif pada penafsiran alegoris, tetapi beberapa kelemahannya sangat serius.

4.        Penafsiran Harafiah pada abad-abad pertama
Kurang tepat jika seorang mengira bahwa dunia penafsiran Alkitab pada abad-abad pertama hanya dikuasai penafsiran alegoris. Ada beberapa tokoh yang tidak mengambil pendekatan alegoris, yaitu Ignatius dari Antiokhia (35-107), Irenaeus (130-202), murid Polycarpus (70-155). Aliran Antiokhia mengembangkan penafsiran tipologis yang lebih masuk akal atas PL untuk mengganti penafsiran alegoris. Mereka menekankan pentingnya penafsiran yang memperhatikan makna harafiah dan historis.
5.        Pola Penafsiran Bapa-Bapa Gereja Latin dan Abad Pertengahan
Pada umumnya Bapa-Bapa Gereja Latin mengambil jalan tengah di antara aliran Alexandria dan aliran Antiokhia. Mereka cendrung menekankan otoritas tradisi dan gereja dalam penafsiran Alkitab. 

6.        Pola Penafsiran Pada Masa Renaisans, Reformasi, dan Pascareformasi
Renaisans ditandai dengan bangkit kembalinya perhatian kepada kesusahtraan klasik, berkembangnya kesenian dan kesusastraan baru, dan tumbuhnya ilmu pengetahuan modern. Apa yang terjadi pada masa ini memberi sedikitnya dua sumbangsih besar kepada hadirnya penafsiran yang lebih sehat. Pertama, pembaca Alkitab diajak meninggalkan teologi dan hierarki gereja. Kedua, bangkitnya perhatian baru terhadap karya sastra, budaya orang Yunani dan Romawi.
Dengan latar belakang Renaisans, khususnya humanisme, dimulailah Reformasi. Para reformator terkenal dengan sikap mereka yang sangat menghormati Alkitab (Sola Scriptura). Menurut mereka Alkitab sendirilah yang menafsir Alkitab. Ada dua orang reformator yang patut dibahas lebih teliti yaitu, Martin Luter (1483-1516) dan Yohanes Calvin (1509-1564).
Pada masa pascareformasi, terjadi berbagai perpecahan dan muncul bermacam ajaran bidah dalam gereja. Selain itu kekuatan rasional bertambah besar. Golongan ini makin mendapat angin pada akhir abad ke-18. Zaman ini juga ditandai dengan berbagai usaha mencari salinan kuno yang lebih baik. Para sarjana berusaha mengevaluasi dan mengklasifikasi salinan kuno PB. Sedangkan penyelidikan PB terbentur kekurangan bahan.

7.        Pola Penafsiran Pada Abad Ke-19
Boleh dikatakan pengaruh aliran rasionalisme menjadi puncaknya pada abad ke-19. Dimata sarjana aliran ini, Alkitab bukan kitab yang berotoritas. Dengan sikap mengandalkan rasio manusia, mereka mengkritik Alkitab.

8.        Pola Penafsiran Pada Tujuh Dekade Pertama Abad Ke-20
Dalam kurun waktu tujuh dekade pertama abad ke-20, umat manusia mengalami perubahan yang dasyat. Ada sejumlah besar orang Kristen menaruh perhatian kepada Alkitab, dan merasa perlu menjalankan firman-Nya dalam kehidupannya sehari-hari. Abad ke-20 juga ditandai dengan berkurangnya pengaruh gereja-gereja yang berada di eropa, dan bertambahnya tumbangsih yang diberikan gereja-gereja yang ada di Amerika Utara. Kemudian, gereja-gereja di Asia, disusul Afrika, setaham demi setaham mengambil peranan yang lebih besar.

9.        Pola Penafsiran Pada Tiga Dekade Terakhir Abad Ke-20
Perkembangan penafsiran biblikal yang terjadi dalam tiga dekade terakhir abad lalu cukup pesat, dinamis, dan kompleks. Bersama dengan pola-pola baru ini, analisis yang sudah dikenal selama ini pun terus berkembang dan maju.
            Beberapa macam Analisis yang selama ini dipakai secara luas:
1.      Analisi Salinan Kuno PL dan PB bertujuan mencari salinan kuno Alkitab yang paling tepat.
2.      Analisis sumber bertujuan menganalisis ciri khas sebuah kitab, untuk memperoleh informasi mengenai penulis kitab, tanggal penulisan, serta lingkungan dan keadaan sekitar kitab tersebut.
3.      Ananlisis Tata Bahasa
4.      Analisis Latar Belakang
5.      Analisis Kesusastraan
6.      Analisis Tradisi
7.      Analisis Ragam dan Sastra
8.      Analisis Redaksi

KESIMPULAN:
Untuk menjadi seorang penafsir Alkitab harus mempelajari perjalanan sejarah hermeneutik yang sangat panjang bahkan lebih panjang dari sejarah gereja. Sejarah penafsiran yang sangat panjang dari jaman Esra pada Perjanjian Lama sampai tiga dekade abad ke-20 mengingatkan kita bahwa munculnya analisis yang berbeda-beda dari zaman ke zaman dan begitu mudahnya seorang penafsir menyalahgunakan penafsiran demi tujuan tertentu. Bahkan sejak masa awal perkembangan penafsiran biblikal sudah dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik, budaya, masyarakat dan semangat mengabarkan injil. Pada zaman yang berbeda memberikan perbedaan dampak.
Sejarah hermeneutik ini menambah pengetahuan kita untuk menyimpulkan suatu analisis baru dengan teliti karena pendidikan yang tinggi dan fasilitas yang memadai tidak menutup kemungkinan dalam kekeliruan. Untuk itu seorang penafsir yang baik harus lebih teliti dan harus menjadi berkat bagi umat Allah.
Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Supported by: Blogger | Blogger.com
Copyright © 2014. Rumah Pelayanan - All Rights Reserved
WWW . RUMAHPELAYANAN . COM