Home » » DOKTRIN ALLAH 01 – Mengakui Keberadaan Allah

DOKTRIN ALLAH 01 – Mengakui Keberadaan Allah


DOKTRIN ALLAH 01 – Mengakui Keberadaan Allah (By Dr. Erastus Sabdono)

Apakah Allah Ada?

Pertanyaan yang terus digemakan oleh manusia baik yang mencari Allah maupun yang tidak mempercayai-Nya adalah bagaimana manusia tahu bahwa Allah itu ada? Bagi mereka yang dibesarkan dalam lingkungan orang-orang beragama yang sudah terbiasa meyakini bahwa Allah itu ada, pertanyaan tersebut biasanya diabaikan. Pertanyaan itu dianggap konyol dan tidak bermutu sama sekali. Mengapa demikian? Sebab mereka sudah sangat yakin kalau Allah itu ada. Nurani mereka telah tergores sangat dalam untuk meyakini bahwa Allah itu ada. Belum lagi ditambah  dengan banyaknya pengalaman-pengalaman adikodrati yang mereka asumsikan sebagai tindakan dari Allah yang mereka percayai, maka mereka sangatlah yakin bahwa Allah sungguh-sungguh realitas yang tak terbantahkan. Bagi mereka meyakini bahwa Allah adalah pribadi yang eksis bukan sesuatu kesulitan sama sekali, karena keyakinan itu telah menyatu dalam kehidupan, mengalir dalam syaraf-syaraf jiwanya dan mengakar sangat kuat. Hampir mustahil membuat mereka tidak beragama.

Di negara yang memiliki sila Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia, masyarakat terkondisi untuk mempercayai bahwa Allah itu ada. Suasana masyarakat religius ini sangat kondusif membangun keyakinan akan keberadaan Allah. Keyakinan yang dimaksud disini adalah pengaminan akali atau persetujuan pikiran. Secara akali mereka percaya saja atau setuju bahwa Allah ada. Mereka menerima keyakinan tersebut tanpa bantahan sama sekali. Tidak ada usaha untuk mempertanyakan dan mengkritisi keyakinan yang sudah ada. Disadari atau tidak masyarakat dikondisi untuk mempercayai bahwa Allah ada tanpa nalar yang optimal untuk menganalisanya. Sebenarnya hal ini merupakan intimidasi yang sangat kuat tetapi terselubung.

Keyakinan seperti itu diturunkan dari generasi ke generasi secara otomatis. Karenanya dipandang aib kalau seseorang tidak mempercayai adanya Allah. Sayangnya, masyarakat seperti ini sering hanya memandang Allah sekedar sebagai simbol keagungan orang bermoral atau orang beragama tanpa memahami keyakinannya dengan baik serta mengamalkan ajarannya secara konsisten. Dengan pengaminan akali atau persetujuan pikiran mengenai Allah yang mereka telah miliki, mereka merasa sudah bersikap pantas kepada Allah. Mereka merasa telah bertuhan dan menghormati-Nya. Ironisnya, fakta menunjukkan bahwa moral masyarakat seperti ini ternyata tidak mutlak lebih baik dari masyarakat yang tidak mempercayai bahwa Allah itu ada. Situasi seperti ini juga ada pada lingkungan masyarakat yang mayoritasnya orang-orang Kristen. Mereka adalah orang-orang Kristen KTP, Kristen keturunan. Mereka melestarikan agama Kristen dan melakukan ibadah liturgi rutin dengan setia. Tetapi mereka tidak melakukan usaha untuk mengeksplorasi kebenaran Firman Tuhan secara memadai dan berusaha mengamalkannya. Tidak heran jika di masyarakat Kristen tersebut berbagai pelanggaran moral yang memalukan juga terjadi.

Berbeda dengan negara-negara atau masyarakat yang menghargai berpikir bebas. Seorang atheis bisa bangga dengan sudut pandang berpikirnya mengenai Tuhan, bahwa ia tidak percaya bahwa Allah itu ada. Mereka terang-terangan menyatakan tidak membutuhkan Tuhan dan agama apapun. Juga seorang yang mengaku sebagai freethinker (pemikir bebas) yang dengan bebas melontarkan kecaman terhadap orang-orang beragama bahkan kepada Tuhan sendiri yang dianggap sebagai isapan jempol atau fantasi. Hal ini biasanya terjadi di negara-negara yang mengkampanyekan untuk menjunjung tinggi hak azasi manusia termasuk hak berpikir bebas.

Menurut kelompok di atas ini, mereka tidak mempercayai bahwa Allah ada adalah bagian dari kebebasan hak azasi. Mereka memandang bahwa negara pun tidak berhak memaksa untuk beragama dan bertuhan. Bagi mereka Allah adalah personifikasi dan ide abstrak semata-mata. Sah-sah saja untuk menolak secara mutlak keberadaan Allah. Mereka tidak merasa perlu beragama, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menganggap agama memancarkan pengaruh negatif dalam kehidupan manusia. Tidak sedikit di antara mereka yang secara provokatif mengikrarkan diri sebagai “tidak beragama dan tidak bertuhan”. Hal mana agak sukar terjadi di negara yang mengharuskan masyarakatnya beragama dan bertuhan.

Dewasa ini semakin banyak pemikir-pemikir dan kaum intelektual yang menganut faham nihilistis. Faham ini mengatakan bahwa dewa-dewa dan allah tidak ada atau tidak perlu ada. Bagi mereka, segala sesuatu yang tidak bisa diverifikasi atau dibuktikan sains adalah nonsen. Keberadaan Allah dianggap irrasional, karenanya tidak perlu dipercaya sebagai realitas atau pribadi yang eksis. Seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan atheis, baik atheis teoritis maupun atheis praktis seperti di atas ini, percaya akan Allah dianggap sebagai kebodohan. Mereka memandang orang-orang beragama adalah korban indoktrinasi yang salah. Mereka adalah kelompok manusia yang menyangkal secara mutlak keberadaan Allah. Namun demikian, bagaimanapun tidak bisa dibantah bahwa masyarakat yang mempercayai adanya Allah akan lebih terkondisi untuk hidup diatur oleh hukum-hukum yang dipercayai sebagai pemberian Allah. Sehingga sulit bagi liberalisme tanpa batas mendapatkan tempat di masyarakat seperti itu.

Nihilisme

Secara khusus perlu membahas mengenai faham nihilisme dalam tulisan ini, sebab faham atau filosofi ini sangat dominan mempengaruhi manusia modern. Nihilisme merupakan filsafat hidup yang bertumpu pada keyakinan bahwa Allah tidak ada, tidak ada dewa-dewa dan tidak perlu ada hal-hal yang dipandang oleh orang-orang beragama sebagai “yang ilahi”. Tiada yang lain dalam kenyataan hidup ini kecuali manusia, aku. 

Kata nihilisme berasal dari kata nihil dan isme. Nihil berasal dari kata dalam bahasa Latin yang berarti tak suatu pun, tiada apa-apa pun. Sedangkan isme berarti aliran, pandangan, keyakinan dan faham. Jadi nihilisme adalah faham, ajaran atau keyakinan yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Menurut Rasul Petrus dunia akhir zaman akan dibawa kepada suasana di mana orang tidak percaya adanya Allah (2Pet 3:1-7).

Mereka adalah kelompok pengejek-pengejek yang melecehkan Tuhan dan menentang keberadaan Tuhan secara frontal. Tuhan dianggap tidak ada (nihil), maka besar kecenderungan para penganut filsafat ini melepaskan norma-norma kemasyarakatan konservatif, suara hati nurani yang benar dan Alkitab. Ini merupakan celah besar dimana iblis dapat bertengger dan berdiam tetap dalam kehidupan seseorang. 

Akhirnya hati nurani mereka menjadi gelap dan tidak akan dapat memahami kebenaran Allah (Mat 6:22; Luk 11:34). Orang yang tidak percaya adanya Tuhan mengundang iblis mendominasi seluruh kehidupannya.
Pemazmur menyinggung mengenai orang-orang nihilistis sama dengan orang-orang atheis (Maz. 14:1; 53:2). Dari apa yang diuraikan pemazmur ia menunjukkan bahwa orang yang tidak mengakui eksistensi Tuhan pastilah bebal dan fasik. Dewasa ini di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, gerakan modernisasi dalam berbagai bidang kehidupan, manusia menjadikan manusia tidak memerlukan Tuhan, karenanya menentang adanya Allah. Sehingga dalam segala kegiatan, mereka tidak memerlukan Tuhan dan norma-Nya. Walaupun mereka nampak sebagai orang-orang yang beradab, moralis dan edukatif tetapi mereka tidak memiliki norma Allah. Kehidupan mereka akan makin nyata sebagai orang yang sebenarnya tidak beretika, tidak bermoral dan tidak berhukum. Bagaimanapun pola tindak seseorang akan menunjukkan apakah orang tersebut percaya adanya Allah atau tidak.

Di dunia Barat keyakinan adanya Allah dengan segala eksistensinya ditolak oleh banyak orang. Ini sangat ironis sekali, sebab dahulu dari Barat lah zending penginjilan merambah ke negara-negara Asia sehingga ke-Kristenan menjangkau banyak negara di Asia. Sekarang keadaannya terbalik. Orang Asia yang giat mencari Tuhan, tetapi sebaliknya orang-orang Barat tidak terlalu memperdulikan agama. Negara-negara Barat yang dahulu adalah negara-negara Kristen sekarang menjadi negara sekuler yang tidak atau kurang menghargai nilai-nilai spiritualitas. Rupanya di dunia Barat khususnya di Eropa, iblis berhasil mengecoh banyak manusia untuk tidak percaya adanya Allah. Dalam hal ini tentu iblis mengembangkan berbagai teori yang bertujuan menentang keberadaan Allah.

Memang inilah kenyataan hidup dunia modern, betapa sukarnya mempercayai bahwa Allah itu ada dan hidup. Hal ini disebabkan oleh karena manusia hanyut dengan filsafat nihilisme ini. Menurut manusia modern pada umumnya bahwa manusia dapat hidup tanpa Tuhan. Tuhan bukanlah jaminan damai sejahtera dan segala kebutuhan manusia. Menurut mereka sumber kesejahteraan umat manusia adalah karya-karya manusia itu sendiri yang bisa terisolir dari Allah. Karya-karya manusia itu misalnya seni, teknologi, sistim-sistim pemerintahan, dan lain-lain.

Di banyak negara timur keyakinan terhadap Tuhan yang maha Esa masih kuat. Mereka menolak faham ateis yang dianggap sebagai faham orang-orang kafir tak bermoral. Namun kenyataan yang dapat disaksikan dan benar-benar telah terbukti, banyak orang yang mengaku adanya Tuhan tetapi perbuatan mereka menunjukkan seakan-akan mereka tidak percaya adanya Tuhan. Mereka adalah kelompok yang secara teoritis bertuhan (teis teoritis), tetapi sebenarnya mereka adalah ateis secara praktis (ateis praktis). Orang-orang seperti ini terdapat dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi kebutuhan agama.

Keyakinan akan Allah tidak cukup sebuah pengakuan lidah bibir saja. Pengakuan ini haruslah diekspresikan secara konkrit dalam kehidupan. Seseorang yang percaya adanya Tuhan adalah seseorang yang tentu menunjukkan keyakinan-Nya itu dalam perbuatan. Dalam hal ini kita mengerti mengapa Yakobus berkata bahwa iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati (Yak 2:14-26). Perbuatan seseorang yang menghidupi imannya. Seperti di Indonesia, agama dijunjung tinggi sampai-sampai harus ada departemen yang mengurusi agama, hal mana jarang ada di dunia lain. Tetapi fakta yang ada betapa banyak praktek kejahatan di negeri ini yang dilakukan di semua kalangan masyarakat. Dari anggota masyarakat kelas bawah sampai pejabat tinggi negara yang terhomat. Ketidak-adilan dan perampasan hak-hak kehidupan manusia lain terjadi begitu marak dan mudah.

Seharusnya orang percaya kepada Tuhan harus merealisasikan kepercayaan yang semakin jelas dalam perilakunya secara konkrit. Memperlakukan Allah sebagai pribadi yang hidup, riil dan nyata yang mengamati semua perbuatan manusia. Mungkin kalimat ini menimbulkan pertanyaan, apa maksudnya memperlakukan Allah sebagai pribadi yang hidup, riil dan nyata. Maksud kalimat tersebut adalah menanggapi atau memperlakukan Allah sebagai pribadi yang hidup. Pada kenyataannya, seringkali kita tidak memperlakukan Dia sebagai yang riil, nyata, hidup dan ada.

Banyak orang tidak memperdulikan Allah. Dari mulut bisa saja mengaku percaya adanya Tuhan tetapi dalam hidup dan kelakuannya sehari-hari ia tidak mengakui adanya Tuhan. Inilah disebut ateis praktis. Mereka adalah kelompok orang yang tidak menganggap Allah sebagai pribadi yang patut dihormati. Mereka akan bersikap tidak peduli, acuh tak acuh terhadap Tuhan. Karena Allah tidak kelihatan, tidak dapat dijamah dan tidak dilihat dengan mata jasmani, maka Ia diperlakukan atau dianggap tidak ada. Dalam kaitannya dengan hal ini Tuhan Yesus berkata: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya” (Yoh 20:29).
Dalam hal apa dan bagaimana seseorang tidak memperlakukan Allah sebagai yang ada, riil dan nyata. Dalam hal ketika mereka merasa kuatir, takut, cemas dalam menghadapi segala persoalan hidup. Sebab kekuatiran, ketakutan, kecemasan adalah bahasa orang yang tidak percaya. Seolah-olah Tuhan tidak ada atau kalau percaya Allah itu ada ia menilai bahwa Allah itu tidak bertanggung jawab atas hidup kita sebagai ciptaan-Nya, terlebih sebagai anak-anak-Nya.

Kalau seseorang menganggap Allah tidak mau tahu dengan kesulitannya, maka sebagai akibatnya seringkali lebih bersandar dan bergantung kepada obyek lain dan mulai membelakangi Tuhan. Membelakangi Tuhan dengan cara dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan, tidak melibatkan Tuhan di dalamnya. Dalam hal ini kita harus percaya bahwa kuasa Tuhan tetap nyata dan tidak terbatas. Tidak ada perkara yang mustahil bagi-Nya. Ia adalah Allah yang tidak berubah, dahulu sekarang sampai selama-lamanya.
Apa yang pernah Allah lakukan dalam sejarah dan sebagian ditulis oleh Alkitab juga dapat dan mau Allah kerjakan pada zaman kita, abad komputer ini. Ia tidak berubah (Ibr. 13:8). Dia adalah Penguasa yang tidak kelihatan yang menentukan segala sesuatu. Pemerintahan dan kuasanya tidak terbatas di bumi dan di sorga (Mat 28:19-20, segala kuasa di sorga dan di bumi ada dalam genggaman Tuhan kita Yesus Kristus…). Dalam hal ini kita patut meneladani iman Perwira di Kapernaum yang mempercayai kuasa Tuhan Yesus (Mat. 8:5-13). Dia adalah Allah yang hidup, nyata, riil, dan ada. Hendaknya kita selalu melibatkan Tuhan dalam segala pergumulan hidup. Senantiasa mengandalkan Dia, sehingga kita akan membuktikan bahwa Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya.

Kalau kita tidak belajar mengandalkan Tuhan, kita akan menjadi miskin dengan kesaksian, tidak pernah melihat kemuliaan Tuhan dinyatakan. Padahal Allah adalah Allah yang riil. Dia adalah sahabat yang dapat dan mau dimintai pertimbangan-Nya. Ia adalah Bapa yang dapat dan mau mencukupi kebutuhan anak-anak-Nya, menghibur, menguatkan, menyembuhkan. Dia adalah pemelihara sempurna. Juru Selamat atas setiap pergumulan hidup ini. Oleh sebab itu harus ditegaskan bahwa hendaknya kita memperlakukan Dia sebagai Allah yang hidup, riil, nyata dan ada.

Argumentasi-argumentasi Teistik

Menjadi masalah yang terus diperbincangkan dalam dunia theologia, bagaimana membuktikan bahwa Allah itu ada (bukti teistik). Di bawah ini ada beberapa bukti yang bisa meneguhkan bahwa Allah itu ada. Bukti-bukti tersebut juga disebut sebagai argumentasi-argumentasi teistik. Sejujurnya sulitlah menolak kenyataan adanya relasi antara Allah dan manusia serta kosmos (alam semesta ini). Berdasarkan relasi yang bisa tersambung maka dibangunnya argumentasi-argumentasi teistik ini. Argumentasi-argumentasi tersebut antara lain:

Argumentasi Anthropologis, argumentasi  ini berpijak pada anggapan bahwa tidak mungkin manusia dengan metabolisme yang rumit dan sempurna ini eksis karena suatu kebetulan, pasti ada tangan yang menciptakannya. Dengan hal ini Allah tertunjuk sebagai Penciptanya. Dengan hal ini Allah bisa dibuktikan sebagai eksis. Penganut argumentasi ini tentu menentang keras teori evolusi atheis yang tidak mengakui penciptaan manusia sebagai karya Allah yang Maha Agung seperti yang tertulis dalam kitab Kejadian 1 dan 2. Argumentasi ini menegaskan adanya manusia karena adanya Allah.

Argumentasi Moral, argumentasi ini berpijak pada anggapan pada suatu fakta bahwa dimanapun terdapat hukum moral atau etika yang mirip atau sama. Hal ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan. Diyakini ada designer agung yang menyusun dan menuliskannya dalam lubuk hati manusia atau yang berprakarsa mengadakannya. Kesadaran moral ini dipandang sebagai misteri Ilahi yang luar biasa yang bisa dijadikan dasar atau bukti bahwa Allah itu ada. Dalam Roma 2:12-15 Alkitab juga menginformasikan bahwa Allah menulis torat-Nya di dalam hati manusia. Pengertian menulis tidak boleh dipahami secara mistis. Tetapi harus dipahami sebagai mekanisme pewarisan estafet yang diajarkan Tuhan kepada Adam, dan Adam mengajarkannya kepada keturunannya dari generasi ke generasi di mana pun mereka berada.

Argumentasi Kosmologis, argumentasi ini berpijak pada anggapan bahwa jagad raya yang ada dengan keteraturannya yang sempurna ini pasti ada yang menciptakan. Rumitnya sebuah benda seperti alat elektronik, tidak mungkin ada tanpa ada yang menciptakannya. Menurut argumentasi ini bahwa segala sesuatu pasti ada penyebabnya. Sejujurnya secara umum pengetahuan awal manusia adalah mengenai kosmos yang dapat dilihat dan diraba walaupun tidak sempurna (the initial knowledge of cosmic reality), kemudian mulai memperkarakan siapa di balik semua ini. Tidak ada akibat tanpa penyebab. Argumen ini sering dipandang lemah sebab kalau berbicara mengenai hukum sebab akibat, maka juga akan membawa kepada pertanyaan apa yang menjadi penyebab adanya Allah. Namum kekuatan dari argumentasi ini diteguhkan oleh pernyataan Firman Tuhan bahwa Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya (Maz 19:2). Teks lain menyatakan bahwa apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih (Rom 1:20).

Argumentasi Teleologis, argumentasi ini berpijak pada anggapan bahwa keteraturan tatanan (order) jagad raya yang sempurna dan sangat indah menakjubkan (beauty) ini tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti ada tangan yang menciptakan dan yang secara berkesinambungan mengatur  mekanisme serta keteraturannya. Siklus alam, siklus kehidupan berbagai makhluk dengan habitatnya masing-masing dan segala keharmonisan kehidupan dengan segala hukum-hukumnya yang teratur menunjukkan adanya tangan yang tidak kelihatan yang mengaturnya dengan sangat cerdas dan teliti. Bila dihubungkan dengan votum yang sering terdengar di liturgi gereja hal ini sungguh sangat sinkron. Bahwa Allah adalah Allah yang memelihara kesetiaan-Nya sampai selama-lamanya dan yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya (Maz 89:29; 121:2).

Argumentasi Ontologis, argumentasi ini berpijak pada anggapan bahwa manusia memiliki kesadaran akan adanya keberadaan yang sempurna, yaitu Allah atau pribadi yang Maha Kuasa yang patut diakui sebagai Pencipta-Nya. Kesadaran seperti ini ada pada manusia dimana pun manusia berada. Dari suku-suku primitif sampai manusia modern memiliki “naluri” adanya “pribadi” yang Agung yang menciptakan alam semesta dan yang harus disembah atau menjadi obyek pemujaan. Realitas ini dipandang sebagai bukti bahwa Allah itu ada. Dalam sejarah theologia pandangan ini dipopulerkan dan dianut oleh tokoh seperti Descartes, Anselmus dlsb.
Argumen ini sejajar dengan argumen historis atau argumen etnologis, argumentasi  yang berpijak pada keyakinan bahwa setiap suku bangsa di dunia memiliki perasaan atau naluri mengenai “sesuatu yang ilahi”. Karena hal inilah maka tercipta ritual-ritual yang ditujukan kepada obyek-obyek tertentu. Hal inilah yang mendorong manusia untuk mengetahui lebih banyak mengenai “yang ilahi itu” (drive to understand). Dalam tulisan ini argumentasi ontologis digabung dengan argumentasi historis.

Seharusnya bukti-bukti di atas ini sudah cukup mendukung atau membuktikan fakta bahwa ada Allah yang hidup yang riil dan yang menjadikan semua yang ada. Seperti seorang penyair (wordsworth) menyatakan: “the world is too much with us…” Ungkapan ini menunjukkan bahwa di balik alam semesta ini dapat membangun suatu kesadaran bahwa ada Allah yang eksis sebagai Penciptanya.

Namun demikian ada saja kelompok orang yang tidak mengakui keberadaan Allah ini. Mereka adalah kaum ateis yaitu kelompok manusia yang tidak percaya bahwa Allah itu ada, kaum politeisme yang mempercayai adanya banyak dewa sehingga tidak mengaku adanya Allah yang Esa yang menciptakan semua yang ada, kaum panteistik yaitu mereka yang meyakini bahwa Allah ada di dalam semua bahkan mereka meyakini bahwa segala sesuatu adalah Allah dan Allah adalah segala sesuatu, kaum agnostik yaitu kelompok yang tidak memiliki pemahaman mengenai Allah atau merasa tidak perlu mengenali-Nya, kaum deistik yaitu mereka yang tidak percaya bahwa Allah adalah Allah yang berpribadi yang masih hadir dalam kehidupan manusia. Kalau pun ada Allah, maka Allah adalah Allah yang terisolir dari manusia. Kemudian yang marak dewasa ini tanpa disadari telah mewabah adalah filsafat nihilistis.

Alkitab mencatat banyak peristiwa-peristiwa yang bertalian dengan Allah. Alkitab tidak berusaha untuk membuktikan bahwa Allah ada, sebab para penulisnya telah mengalami bahwa Allah ada. Oleh karenanya mereka tidak perlu lagi membuktikan keberadaan-Nya. Usaha untuk membuktikan bahwa Allah ada bentuk dari keraguan mengenai keberadaan Allah atau karena belum mengalami secara riil.
Bila dipertanyakan bilakah Allah mulai ada? Maka pertanyaan itu tidak akan terjawab. Sebab Allah adalah pribadi yang ada dari kekal sampai kekal. Ia berada bukan karena ada kausalitasnya. Segala sesuatu ada awalnya tetapi tidak dengan Allah. Ia adalah keberadaan yang abadi tidak ada asal muasalnya..
Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Supported by: Blogger | Blogger.com
Copyright © 2014. Rumah Pelayanan - All Rights Reserved
WWW . RUMAHPELAYANAN . COM